Rabu, 04 April 2012

Fatwa Majlis Tarjih PP Muhammadiyah


Hutang / Pinjaman BMT
HUTANG/PINJAMAN BMT


Penanya:
Soedjarwo,
Desa Randu, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Pertanyaan:
Seseorang warga Muhammadiyah merintis BMT dengan modal Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Uang tersebut dipinjamkan kepada para pedagang kecil di pasar desa yang hari pasarannya Pon dan Kliwon. Rata-rata para pedagang meminjam uang Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Untuk menghindari riba, dia tidak menentukan jasa dengan prosentase, tetapi hanya terserah peminjam dengan sukarela, sehingga ada yang memberikan sebahagian keuntungannya Rp 1.000,00 (seribu rupiah) dan ada yang memberikan Rp 500,00 (lima ratus rupiah) setiap pasaran, bahkan ada yang tidak memberikan keuntungan. Namun setelah dihitung dalam satu bulan, keuntungan yang masuk justru lebih banyak jika dibandingkan dengan pinjam uang di BRI yang bunganya 2 % setiap bulan. Apakah usaha seperti ini tidak haram, sedangkan bunga Bank Pemerintah yang rendah saja masih syubhat menurut HPT? Mohon penjelasan!

Jawaban:
Memberi pinjaman atau hutang kepada orang yang sedang membutuhkan merupakan salah satu bentuk pemberian pertolongan kepada orang lain, sehingga dapat dimasukkan sebagai amal kebajikan. Dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang melapangkan nafas seorang mukmin dari suatu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melapangkan nafas orang itu dari suatu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari akhirat; dan barangsiapa yang mempermudah bagi orang yang mendapat kesukaran, maka Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan akhirat; dan barangsiapa yang menutup cela seorang muslim, maka Allah akan menutup cela (kesalahan)nya di dunia dan di akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya selalu menolong saudaranya.” [HR. Muslim].
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً. [رواه ابن ماجه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi saw bersabda: Tidak ada seorang muslim yang memberi hutang kepada orang Islam yang lain sebanyak dua kali, kecuali perbuatannya itu seperti shadaqah satu kali.” [HR. Ibnu Majah].
Demikian halnya orang yang berhutang dianjurkan agar melebihkan dari hutangnya di kala melakukan pembayaran atau pelunasan. Dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ اْلإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata: Seorang laki-laki memiliki piutang terhadap Nabi saw seekor unta muda. Ia mendatangi Nabi saw dan menagih pelunasannya. Kemudian Nabi saw bersabda: Berikan pelunasan kepada orang itu. Kemudian para shahabat mencari unta muda milik Nabi saw, namun tidak mendapatkannya kecuali unta yang lebih tua (besar). Kemudian Nabi saw bersabda: Berikan kepadanya. Ia berkata: Engkau telah berbuat yang sangat sempurna terhadapku, semoga Allah selalu memberikan kesempurnaan kepada anda. Nabi saw bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang berbuat baik dalam melunasi hutang.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata: Saya mendatangi Nabi saw dan beliau mempunyai hutang terhadapku, kemudian beliau melunasi dan memberi tambahan kepadaku.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Berdasarkan ajaran Rasulullah saw di atas para ulama sepakat mengkategorikan hutang piutang sebagai akad tabarru’, yaitu akad yang semata-mata bertujuan untuk mengharap ridla Allah Swt, tidak untuk mencari keuntungan materi sedikit pun. Dengan kata lain akad yang semata-mata berorientasi kepada sosial bukan berorientasi kepada profit atau keuntungan.
Menyimak pertanyaan yang saudara ajukan, tampaknya pemberian hutang yang dilakukan seseorang warga Muhammadiyah yang saudara sebutkan, tidak termasuk kepada akad tabarru’ ini. Oleh karena itu jika orang tersebut ingin merintis mendirikan BMT, pinjaman tersebut hendaknya dilakukan secara transparan yakni dengan akad yang jelas, yang dalam hal ini dapat diwujudkan dengan akad mudlarabah (bagi hasil).
Akad mudlarabah ialah akad yang dilakukan oleh dua pihak atau dua orang dimana salah satu pihak atau salah seorang menyerahkan sejumlah uang kepada pihak atau orang lain untuk dijadikan modal dalam berusaha (berdagang) dengan keuntungan dibagi untuk mereka berdua berdasarkan kesepakatan; dan jika terjadi kerugian ditanggung pemilik modal. (Lihat as-Sayid ‘Ali Fikri, al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz I, halaman 179). Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa mudlarabah adalah akad kerjasama untuk melakukan usaha (dagang) antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal (shahibul mal), sedang pihak kedua menjadi pengelolanya (mudlarib). Keuntungan dari usaha yang dilakukan pihak kedua, dibagi menurut kesepakatan sesuai yang tertuang pada waktu akad. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kecurangan, kelalaian, keteledoran atau kecerobohan pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan, kelalaian, keteledoran atau kecerobohan pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (lihat: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, halaman 90).
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)
Ruh Berkeliling Rumah
FATWA NO. 2/SM/MTT/I/2010
Tentang
Hadis Mengenai Ruh Orang Mati Berkeliling di Seputar Rumah
dan Makamnya

Tanya: Saya beberapa kali ditanya oleh rekan sejawat sesama pengurus takmir sebuah mesjid tentang hadis yang menyatakan bahwa ruh orang Islam yang meninggal akan berputar-putar di sekitar rumahnya selama satu bulan sejak meninggalnya dan setelah itu berputar-putar di sekitar makamnya selama setahun. Hadis itu oleh sebagian orang dijadikan dasar bagi diadakannya kegiatan tahlil. Hadis tersebut dinyatakan bersumber dari Abu Hurairah r.a. dan terdapat dalam kitab Durratun-Nashihin dengan terjemahan bahasa Jawa pada halaman 2195-2196. Matan hadis dimaksud sebagaimana dikutip dalam kitab Durratun-Nasihin dengan terjemahan bahasa Jawa itu adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْراً فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِياَلِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذاَ أَتَمَّ شَهْراً رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قَبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْ لَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِيْ الصُّوْرِ .
Pertanyaannya: Apakah hadis ini sahih dan siapa rawi yang meriwayatkannya? Mohon penjelasan.
Kalasan, 25-12-2009. Penanya: Sugianto, Guru SMPN 3 Turi, Kalasan, Sleman, Yogyakarta.

Jawab: Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Sugianto atas pertanyaannya. Agar para pembaca yang tidak memahami bahasa Arab dapat mengetahui isi matan dari teks di atas, maka terlebih dahulu kami perlu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahannya adalah sebagai berikut:
(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka arwahnya berkeliling-keliling di seputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka arwahnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling-keling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta orang yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka arwahnya dinaikkan ke tempat di mana para arwah berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala.

Sebelum lebih lanjut menjelaskan asal-usul teks di atas yang diklaim sebagai hadis Nabi saw, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dan unsur-unsur hadis. Secara singkat hadis pada pokoknya adalah suatu matan yang dinisbatkan kepada Nabi saw melalui suatu rangkaian sanad yang menghubungkan mukharrij (penghimpun matan) kepada sumber matan, yaitu Nabi saw. Pengertian ini menjelaskan kepada kita bahwa hadis terdiri dari dua unsur pokok (rukun), yaitu sanad dan matan. Sanad adalah jalur yang terdiri atas satu rangkaian rawi yang sambung-menyambung hingga sampai kepada Nabi saw dan yang menghubungkan mukharrij (penghimpun hadis) kepada Nabi saw yang merupakan sumber matan. Matan adalah materi yang bersumber kepada Nabi saw yang diriwayatkan melalui jalur sanad yang menghubungkan penghimpun hadis kepada Nabi saw. Oleh karena itu setiap matan hadis haruslah ada sanadnya. Apabila ada hadis tanpa sanad, maka itu sama sekali bukan hadis yang sah. Sanad dalam pandangan orang-orang Muslim merupakan sarana untuk membuktikan bahwa suatu materi adalah hadis yang berasal dari Nabi saw. Berikut ini adalah contoh sanad dan matan:
مَالِك : عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ [رواه مالك]
Artinya: Malik (berkata): Dari ‘Amar Ibn Yahya al-Mazini, dari ayahnya (Yahya al-Mazini) diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain [HR Malik, al-Muwatta’, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, h.454, hadis no. 1461].
Hadis ini dikutip dari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik (w. 179 H / 795 M). Dalam kitab ini Malik menyatakan bahwa ia menerima hadis la darara wa la dirar dari gurunya ‘Amr Ibn Yahya al-Mazini, dan ‘Amr Ibn Yahya al-Mazini sendiri menerima hadis itu dari gurunya, yaitu ayahnya sendiri, yaitu Yahya al-Mazini yang menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain. Jadi rangkaian orang (rawi) yang menghubungkan Malik sebagai penghimpun hadis kepada Nabi saw, dalam hal ini ialah ‘Amr dan ayahnya Yahya, adalah sanad dari hadis riwayat Malik tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain. Sedangkan isi hadis berupa sabda Nabi saw tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain adalah matan.
Perlu juga diketahui bahwa hadis harus ditemukan dalam sumber orisinal hadis. Sumber orisinal hadis adalah semua kitab yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Jadi kitab al-Muwatta’ karya Malik dan kitab fikih al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (w. 204 H / 820 M) adalah sumber orisinal hadis, karena masing-masing penyusun kitab itu mempunyai sanad tersendiri yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Sedangkan kitab al-Muntaqa karya Ibn Taimiyyah (w. 728 H / 1328 M), dan kitab Nailul-Autar karya asy-Syaukani (w. 1255 H / 1839 M), misalnya, bukanlah sumber orisinal hadis karena penyusunnya tidak memiliki sanad yang menghubungkan mereka kepada Nabi saw. Mereka mengutip hadis-hadis dalam kitab mereka itu dari kitab lain. Jadi kitab-kitab tersebut, meskipun adalah kitab-kitab hadis, namun bukan sumber orisinal hadis.
Sekarang marilah kita meneliti di mana sumber hadis tentang arwah yang berkeliling di seputar rumahnya yang ditanyakan di atas. Untuk melakukan penelitian kita dapat menggunakan tiga metode. Pertama menggunakan Program al-Maktabah asy-Syamilah (edisi 2), kedua menggunakan Program al-Jami’ al-Akbar (edisi 2), dan ketiga menggunakan Program al-Jami’ al-Kabir (edisi 4, 2007-2008). Penelusuran dengan menggunakan al-Maktabah asy-Syamilah tidak menemukan adanya hadis yang ditanyakan di atas. Ini berarti bahwa teks di atas tidak tercatat dalam satu pun dari 5505 kitab yang dirujuk dalam al-Maktabah asy-Syamilah. Dan karena itu juga dapat dinyatakan bahwa hadis yang sedang kita selidiki ini tidak tercantum dalam satu pun dari sumber-sumber orisinal hadis yang ada.
Sekarang mari kita lakukan penelusuran dengan menggunakan Program al-Jami’ al-Akbar. Hasil penelusuran dengan menggunakan program ini juga nihil, artinya hadis yang ditanyakan di atas tidak tercantum dalam kitab-kitab hadis yang ada. Terakhir mari kita gunakan program al-Jami’ al-Kabir (edisi 4, 2007/2008). Program ini menunjukkan juga tidak ada hadis seperti yang ditanyakan di atas yang tercantum dalam sumber orisinal hadis mana pun. Namun program ini menemukan ada matan lain yang mirip dengan hadis yang ditanyakan di muka. Matan lain dimaksud adalah sebagai berikut:

اَلْمَيِّتُ إِذاَ مَاتَ دِيْرَ بِهِ دَارُهُ شَهْرًا يَعْنِيْ بِرُوْحِهِ وَحَوْلَ قَبْرِهِ سَنَةً ثُمَّ تُرْفَعُ إِلَى السَّبَبِ الَّذِيْ تَلْتَقِيْ فِيْهِ أَرْواَحُ اْلأَحْياَءِ وَاْلأَمْواَتِ .
Artinya: Seseorang apabila meninggal, maka ruhnya dibawa berputar-putar di sekeliling rumahnya selama satu bulan, dan di sekeliling makamnya selama satu tahun, kemudian ruh itu dinaikkan ke suatu tempat di mana ruh orang hidup bertemu dengan arwah orang mati.
Matan ini direkam oleh ad-Dailami (w. 509 H / 1115 M) dalam kitabnya al-Firdaus fi Ma’tsur al-Khithab [(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417/1996), IV: 240, nomor 6722], dari Abu ad-Darda’ tanpa menyebutkan sanadnya. Selain itu matan ini juga dicatat oleh as-Sayuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam dua kitabnya, yaitu Busyra al-Ka’ib bi Liqa’ al-Habib (h. 11) dan Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur (h. 262). Namun as-Sayuthi dalam kedua kitab ini hanya mengutip dari ad-Dailami, dan ia menyatakan bahwa ad-Dailami tidak menyebutkan sanadnya. Dengan demikian matan ini pun juga tidak terdapat dalam sumber-sumber orisinal hadis.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa matan yang ditanyakan di atas dan matan lain yang mirip yang disebutkan oleh ad-Dailami tidak ada diriwayatkan dalam satu pun dari sumber-sumber orisinal hadis dan matan-matan tersebut tidak memiliki sanad. Atas dasar itu, maka disimpulkan bahwa matan tersebut sama sekali bukan hadis Nabi saw.


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com
Shalat Jum'at dijamak dengan Asar
BISAKAH SHALAT JUM’AT DIJAMAK DENGAN ASAR?


Pertanyaan Dari:
Zainal Abidin, NBM 782824, Jama’ah Masjid Taqwa,
Jl. Setia Budi No. 59 Medan, Sumatera Utara

Pertanyaan:
Saya seorang sopir yang bekerja kepada seorang majikan non muslim, beliau selalu pulang ke kampungnya, tetapi apabila pergi bersama saya tak pernah menginap, perjalanan ke sana sekitar dua setengah sampai tiga jam dengan mobil. Di kampung tersebut penduduk mayoritas tidak beragama Islam, kalau pun ada yang beragama Islam mereka tinggal di ladang-ladang yang berjauhan sehingga mesjid kecil yang dibangun oleh pemerintah tidak nampak dari jalan, sementara itu babi ternak masih berkeliaran dan sulit mencari tempat untuk shalat. Saya selalu menjamak shalat apabila akan berangkat ke kampung tersebut. Selanjutnya yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Apabila saya berangkat hari Jum’at, bisakah shalat Jum'at dijamak dengan Asar, bagaimana caranya?
2. Saya selalu menjamak Zuhur dengan Asar pada waktu Zuhur (jamak taqdim) sebelum berangkat ke kampung tersebut, tetapi setelah itu ternyata keberangkatan dibatalkan. Apakah saya harus shalat Asar lagi?
3. Semula tidak ada pemberitahuan kalau akan berangkat ke kampung tersebut, oleh karena itu saya tidak menjamak Zuhur dengan Asar, tapi tahu-tahu saya diajak berangkat ke kampung tersebut sekitar pukul 15.00 WIB (di Medan belum masuk waktu Asar). Apakah saya boleh shalat Asar sebelum waktunya, mengingat kesulitan-kesulitan seperti yang disebutkan di atas? Mohon pertanyaan segera dijawab biar saya bisa beribadah sesuai dengan ketentuan syara’.

Jawaban:
1. Bagi yang akan atau sedang bepergian, shalat Jum’at bisa dijamak dengan shalat Asar. Memang kami belum menemukan dalilnya yang khusus, tetapi menurut kami hal ini bisa didasarkan kepada dalil yang umum, yaitu shalat jamak bagi orang yang akan atau sedang bepergian. Sebagaimana diketahui bahwa bagi orang yang sedang atau akan bepergian dia diperbolehkan melakukan shalat jamak, Zuhur dengan Asar, Magrib dengan Isya, kecuali shalat Subuh. Pelaksanaannya bisa secara jamak taqdim atau jamak ta'khir. Rasulullah saw apabila dalam safar (bepergian) biasa melakukan shalat jamak. Hadis riwayat Muslim dari Anas menyebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ [رواه مسلم]
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah saw apabila akan bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zuhur pada waktu Asar, apabila masuk waktu Asar lalu menjamak kedua shalat tersebut (Zuhur dengan Asar) di waktu Asar, dan apabila sebelum berangkat matahari sudah tergelincir, beliau menjamak shalat Zuhur dengan Asar, lalu pergi.”
Demikian juga dalam riwayat Ahmad dan Kuraib dari Ibnu Abbas disebutkan lebih jelas bahwa lbnu Abbas berkata:
أَلَا أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ قَالَ قُلْنَا بَلَى قَالَ كَانَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ يَرْكَبَ وَإِذَا لَمْ تَزِغْ لَهُ فِي مَنْزِلِهِ سَارَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعَصْرُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِذَا حَانَتْ الْمَغْرِبُ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ وَإِذَا لَمْ تَحِنْ فِي مَنْزِلِهِ رَكِبَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعِشَاءُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا [رواه أحمد]
Artinya: “Maukah saudara-saudara kuberitakan perihal shalat Rasulullah saw sewaktu sedang bepergian? Kami menjawab, ya. Ibnu Abbas berkata: Apabila Rasulullah masih di rumah matahari telah tergelincir, beliau menjamak shalat Zuhur dengan Asar sebelum berangkat, tetapi kalau matahari belum tergelincir, maka beliau berjalan hingga waktu shalat Asar masuk, beliaupun berhenti dan menjamak shalat Zuhur dengan Asar. Begitu juga selagi beliau di rumah waktu Magrib sudah masuk, beliau menjamak shalat Magrib dengan Isya tetapi kalau waktu Magrib belum lagi masuk, beliau terus saja berangkat dan nanti kalau waktu Isya tiba, beliau pun berbenti untuk menjamak shalat Magrib dan Isya.”
Berdasarkan keumuman hadis di atas, ketentuannya berlaku juga kepada bepergian yang dilakukan pada hari Jum’at. Oleh karenanya diperbolehkan menjamak shalat Jum’at dengan Asar dan dilakukan setelah shalat Jum’at seperti yang saudara lakukan. Akan tetapi karena saudara melakukannya masih di kampung saudara (Medan), maka setelah shalat Jum’at langsung melakukan shalat Asar secara sempurna 4 rakaat, tidak diqasar. Karena shalat qasar itu baru diperbolehkan apabila dalam bepergian, sudah keluar kampung. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 101:

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), …”

Menurut ayat ini, mengqasar shalat itu dilakukan pada waktu bepergian. Dari hadis riwayat Jama’ah dari Anas juga diketahui bahwa Nabi saw mengqasar shalat apabila dalam keadaan bepergian dan tidak beliau lakukan selagi masih berada di kampung halaman. Mengenal hal ini sahabat Anas menyebutkan:
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاْلمَدِيْنَةِ أَرْبَعًا وَاْلعَصْرِ بِذِي اْلحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ [رواه الجماعة]
Artinya: “Saya shalat Zuhur bersama Rasululah saw di Madinah empat rakaat dan di Zul Hulaifah dua rakaat.”
Oleh karena itu kalau saudara bepergian tidak pada hari Jum’at dan saudara menjamak Zuhur dengan Asar seperti yang saudara terangkan pada pertanyaan nomor dua, hendaknya saudara lakukan kedua shalat itu masing-masing empat rakaat.

2. Untuk pertanyaan saudara yang nomor dua, saudara tidak perlu lagi mengulangi shalat Asar. Dengan catatan bahwa pada hari itu memang dijadwalkan/ direncanakan mau berangkat dan pembatalan keberangkatan itu diberitahukan sesudah saudara melakukan shalat jamak. Pembatalan kepergian yang secara mendadak tidak menggugurkan shalat yang sudah saudara lakukan.

3. Mengenai pertanyaan saudara nomor tiga, sekalipun pemberitahuan itu secara mendadak tidak menjadikan saudara boleh melakukan shalat sebelum waktunya, karena shalat Asar tidak saudara jamak dengan Zuhur, maka shalat Asar harus tetap dikerjakan pada waktunya, karena selain shalat jamak, semua shalat harus dilakukan pada waktunya. Untuk shalat Asar bisa saudara lakukan di tengah perjalanan. Saudara minta ijin kepada majikan untuk mengerjakan shalat. Carilah tempat yang disitu terdapat air untuk wudu, apabila dalam perjalanan yang saudara lalui sulit memperoleh air, bisa saja saudara tayamum. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 6 menyebutkan:

Artinya: “Apabila kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah”

Untuk shalatnya sendiri tidak harus dilakukan di masjid, bisa dikerjakan di samping kendaran, di atas tanah dengan dihampari sajadah atau alas yang lain, karena bumi ini memang dijadikan Allah untuk tempat shalat. Dan karena saudara sudah dalam perjala­nan, berarti saudara sudah boleh melakukan shalat Asar secara qasar.


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com

Jama' Qashar dan Jama'ah
SHALAT JAMA‘, QASHAR, DAN SHALAT JAMAAH

Penanya:
H. Muhda Hadisaputro, SH., M.Si.
Jl. Tebet Timur Dalam Jakarta

Pertanyaan;

1. Akhir-akhir ini di kota besar seperti Jakarta, keadaan lalu lintas sehari-hari di hari kerja semakin padat merayap dan tidak jarang macet total semata-mata karena terlalu banyaknya kendaraan. Berjam-jam orang berada di kendaraan tanpa dapat berbuat banyak dan tiba di tujuan (di rumah dari pulang kerja) sudah larut malam. Waktu Asar, Maghrib dan Isya‘ masih di kendaraan. Bagaimana tuntunan untuk menjalankan ibadah yang wajib kita lakukan itu pada kondisi lalu lintas seperti itu? Bagaimana dalilnya?
2. Shalat berjamaah besar fadlilahnya. Sebuah keluarga tinggal dua orang suami istri. Suami shalat wajib di masjid sesuai dengan keutamaannya, dan istri melaksanakannya di rumah sesuai dengan tuntunan keutamaannya. Untuk dapat meraihh fadlilah shalat berjamaah, adakah tuntunan bagi suami melakukan shalat sunat di rumah yang pada saat itu istri menjadi makmum dengan niat shalat wajib? Bagaimana dalilnya?

Jawaban:

1. Shalat lima waktu sebagaimana yang telah dimaklumi adalah salah satu rukun Islam; yang oleh karenanya harus ditegakkan pelaksanaannya oleh setiap muslim, manakala tiba waktunya. Dalam kondisi normal (tanpa udzur/halangan) Islam mengajarkan pelaksanaan shalat untuk sesuai dengan waktu yang ditetapkan untuk masing-masing, juga dengan kaifiyah (tatacara) yang telah ditetapkan.
Dalam kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan seorang muslim mengalami kesulitan untuk melaksanakan shalat wajib sebagaimana yang dilaksanakan pada kondisi normal (tanpa udzur/halangan), Islam memberi kemudahan, adakalanya berupa kemudahan yang berkaitan dengan waktu pelaksanaannya yakni dengan menjama‘ (mengumpulkan dua macam shalat dalam satu waktu tertentu) dan adakalanya berupa keringanan dalam pelaksanaanya yaitu dengan mengqashar (memendekkan/meringkas) jumlah raka’atnya.
Keringanan atau kemudahan yang diberikan itu diungkapkan dalam ajaran Islam, melalui beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
Allah berfirman:
... وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ. [الحج (22): 78].
Artinya: “… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj (22): 87].
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. [البقرة (2): 185].
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [al-Baqarah (2): 185].
Rasulullah saw bersabda:
الدِّينُ يُسْرٌ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ. [رواه البخاري عن أبى هريرة].
Artinya: “Agama itu mudah; agama yang disenangi Allah yang benar lagi mudah.” [HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.].
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا ... [رواه البخاري عن أنس بن مالك].
Artinya: “Mudahkanlah dan jangan mempersukar ...” [HR. al-Bukhari dari Anas ibn Malik ra.].
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa keringanan dalam menegakkan shalat, diberikan dengan mengqashar (meringkas). Dalam al-Qur’an disebutkan:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي اْلأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا. [النساء (4): 101].
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” [QS. an-Nisa (4): 101].
Dalam beberapa hadits diterangkan, antara lain:
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” [HR. Muslim].
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw shalat dhuhur di Madinah empat raka’at dan shalat ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at.” [HR. Muslim].
Hadits yang menerangkan shalat jama’ antara lain:
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Mu’adz ra ia berkata: Kami pergi bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, beliau melaksanakan shalat dhuhur dan ashar secara jama‘, demikian juga antara maghrib dan ‘isya dilakukan secara jama‘. [HR. Muslim].
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika berangkat dalam bepergiannya sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih dahulu kemudian naik kendaraan.” [Muttafaq ‘Alaih].
Berkaitan langsung dengan pertanyaan saudara, kami sampaikan hadits-hadits sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu’Abbas ra, ia berkata: Bahwa Nabi saw shalat di Madinah tujuh dan delapan raka’at; dhuhur, ashar, maghrib dan ‘isya.“ [Muttafaq ‘Alaih].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah saw shalat dhuhur dan ‘ashar di Madinah secara jama‘, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu’ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak mernyulitkan seorangpun dari umatnya.” [HR. Muslim].
Asy Syaukani dalam kitab Nailul Authar Juz 3 halaman 263, menerangkan bahwa menurut sebagian ulama’ shalat jama‘ yang dilakukan oleh Rasulullah saw, adalah karena ada udzur.
Berdasar hadits dan keterangan di atas, Bagian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat bahwa jika ada udzur (halangan) yang menyulitkan pelaksanaan shalat untuk dikerjakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan untuk masing-masing dari lima shalat wajib, maka dibolehkan untuk dilaksanakan dengan menjama‘ antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan ‘isya.

2. Untuk menjawab pertanyaan nomor 2, kami sampaikan terlebih dahulu hadits-hadits sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَانْحَرَفَ رَجُلٌ فَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى وَحْدَهُ وَانْصَرَفَ فَقَالُوا لَهُ أَنَافَقْتَ يَا فُلاَنُ قَالَ لاَ وَاللهِ وَلَآتِيَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأُخْبِرَنَّهُ فَأَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا أَصْحَابُ نَوَاضِحَ نَعْمَلُ بِالنَّهَارِ وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى مَعَكَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: Adalah kebiasaan Mu’adz shalat bersama dengan Nabi saw, kemudian mendatangi kaumnya lalu mengimami mereka. Pada suatu malam setelah ia shalat ‘isya’ bersama Nabi saw, lalu ia mendatangi kaumnya dan mengimami mereka. Ia memulai dengan bacaan surah al-Baqarah. Kemudian ada seseorang yang memisahkan diri dan bersalam. Lalu ia shalat sendirian sampai selesai. Orang-orang berkata kepadanya: Apakah anda orang munafik wahai Fulan? Ia menjawab; Demi Allah, tidak. Kemudian saya akan mendatangi Rasulullah saw dan akan kuberitahukan hal itu. Setelah ia sampai kepada Rasulullah saw, ia berkata: Wahai Rasulullah, saya ini adalah tukang siram kebun kurma bekerja seharian, sedangkan Mu’adz telah shalat ‘isya bersamamu, kemudian mendatangi kami untuk mengimami shalat ‘isya dan ia memulai dengan surah al-Baqarah. Kemudian setelah itu Rasulullah saw menemui Mu’adz, dan bersabda: Wahai Mu’adz: Jangan kau membuat kekacauan. Bacalah dengan surat ini dan surat itu.“ [HR. Muslim].
Dari hadits di atas dapat diambil makna bahwa orang yang telah shalat berjama’ah, dibolehkan untuk shalat lagi sebagai imam pada suatu jama’ah (kelompok orang) yang akan melaksanakan shalat secara berjama’ah.
عَنْ مِحْجَنٍ الأَدْرَعِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَحَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَصَلَّى وَلَمْ أُصَلِّ فَقَالَ لِي أَلاَ صَلَّيْتَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ صَلَّيْتُ فِي الرَّحْلِ ثُمَّ أَتَيْتُكَ قَالَ فَإِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَهُمْ وَاجْعَلْهَا نَافِلَةً. [رواه أحمد].
Artinya: “Diriwayatkan dari Mihjan Ibn Adra’ ia berkata: Saya mendatangi Nabi saw ketika beliau berada di masjid, kemudian datanglah waktu shalat, kemudian beliau shalat, tetapi saya tidak shalat. Lalu beliau bertanya kepada saya: Mengapa kamu tidak shalat? Saya menjawab: Wahai Rasulullah, sungguh saya telah shalat di dalam kemah, kemudian saya mendatangi anda. Beliau lalu bersabda: Apabila kamu datang ketika orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka, jadikanlah shalatmu sebagai shalat sunat.” [HR. Ahmad].
Dari hadits di atas dapat diperoleh keterangan bahwa orang yang telah melakukan shalat wajib, kemudian menjumpai orang lain sedang melakukan shalat wajib, maka disunatkan kepada orang tadi untuk mengikuti shalatnya. Shalat yang dilakukan dinilai sebagai shalat sunnat.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, Bagian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat bahwa:
a. seseorang yang telah melaksanakan shalat wajib, kemudian melihat orang lain akan atau sedang shalat baik ia sendirian maupun berjama’ah, dianjurkan shalat bersama mereka. Termasuk dalam hal ini suami yang telah shalat berjama’ah di masjid menjadi imam bagi isterinya yang shalat di rumah.
b. shalat yang kedua kalinya dinilai sebagai shalat sunnah, bukan shalat wajib.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

Tidak ada komentar: